Sacha Baron Cohen adalah salah satu aktor watak terbaik yang ada
sekarang. Lihat saja bagaimana ia mampu menciptakan karakter-karakter
unik nan memorable dalam film-film komedinya. Mulai dari pria bergaya rapper bernama Ali G, seorang fashionista
gay bernama Bruno dan tentunya reporter Kazakhstan bernama Borat.
Karakter-karakter itu sendiri diciptakan Sacha Baron Cohen sebagai
bentuk sindiran atas berbagai pihak, bisa dibilang sebuah karakter
satir. Selain jago dalam memainkan karakter ciptaannya sendiri, Sacha
Baron Cohen juga piawai dalam memainkan tokoh lain seperti saat ia
menajdi Inspektur Gustav di Hugo atau saat dia bermain di Sweeney Todd.
Bahkan di tahun 2014 nanti rencananya ia akan bermain dalam biopic
Freddie Mercury dan berperan sebagai Mercury sendiri. Tapi sebelumnya di
2012 ini Sacha Baron Cohen kembali merilis film dengan karakter
ciptaannya sendiri. The Dictator yang kembali disutradarai oleh Larry Charles ini terinspirasi pada buku Zabibah and the King
yang ditulis diktator Irak Sadam Hussein. Sedangkan Sacha Baron Cohen
disini memerankan General Aladeen, seorang diktator dar sebuah negara
fiktif di Afrika Utara bernama Wadiya. General Aladeen sendiri adalah
karakter yang dibuat oleh Baron Cohen berdasarkan sosok Muammar Gaddafi.
The Dictator mengisahkan tentang kediktatoran General Aladeen
yang sering bertindak kejam terhadap orang lain. Tapi kekejaman tersebut
bukan dikarenakan Aladeen adalah pria berdarah dingin namun lebih
karena kebodohan. Aladeen pernah mengeksekusi banyak orang dengan alasan
konyol termasuk saat ia mengeksekusi ilmuwan nuklir miliknya, Nadal
(Jason Mantzoukas) hanya karena senjata nuklir yang dibuat Nadal bagi
Aladeen mempunyai ujung yang bulat dan tidak tajam seperti yang
diinginkan Aladeen. Baginya roket dengan ujung bulat tidak mengerikan
dan terlihat bagaikan sebuah dildo raksasa. Kediktatoran dan
pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Aladeen sendiri mendapat kecaman
dari banyak pihak khususnya Amerika Serikat. Hal itu membuat negara
luar mengancam akan menyerang Wadiya jika Aladeen tidak bersedia
menghentikan kediktatorannya. Akhirnya untuk membahas perihal tersebut
Aladeen berkunjung ke New York. Tapi sesampainya disana saat malam hari
Aladeen diculik. Bukannya dibunuh, Aladeen justru harus kehilangan
jenggot kesayangan yang juga menjadi ciri khasnya. Tanpa jenggot dan
pakaian kebesarannya, tidak ada yang mengenali Aladeen. Untungnya di
tengah kekacauan Aladeen dibantu oleh Zoey (Anna Faris) yang ironisnya
merupakan demonstran anti-Aladeen.
The Dictator jelas punya humor-humor yang sangat ofensif dan
beberapa juga jorok. Seperti biasa humor ala Sacha Baron Cohen ini
pastinya akan menyulut kontroversi. Kali ini yang disindir adalah
tentang bagaimana Amerika menyikapi konflik yang sering terjadi di
negara Timur Tengah hingga tentang bagaimana mereka memandang terrorisme
yang begitu melekat pada orang-orang Timur Tengah. Yang jelas bagi
penonton yang kurang bisa menerima humor ofensif yang penuh nuansa
rasisme dan kejorokan maka The Dictator akan menjadi 83 menit
penuh dengan momen-momen menyebalkan yang jauh dari kesan lucu. Bagi
saya sendiri paruh awal film ini terasa garing dan gagal dalam
menghantarkan komedinya. Sejak awal memang tanpa basa-basi film ini
langsung mengeluarkan segala amunisinya untuk mengocok perut penonton.
Tapi sayangnya semua itu gagal terlihat menarik karena momen-momen awal
saat kita diajak berkenalan pada kekejaman sekaligus kebodohan Aladeen
terasa biasa saja. Di bagian awal ini momen yang bisa membuat saya
sedikit tertawa paling hanyalah adegan pengubahan beberapa kata Wadiya
menjadi "Aladeen", sedangkan sisanya terasa datar.
Untungnya setelah berjalan beberapa saat film ini mulai menemukan
sentuhannya. Beberapa momen mulai terlihat lucu meski tidak semuanya
berhasil. Saat itu adalah momen dimana The Dictator tidak hanya
menampilkan komedi jorok dan kasar ditambah rasisme tanggung seperti
diawal film, tapi secara total mengeluarkan semuanya. Rasisme yang di
bagian awal masih terasa "ringan" mulai makin ofensif. Tapi anhenya
makin ofensif dan kasar rasisme yang muncul dalam humornya justru makin
terasa lucu film ini. Semua itu berkat penempatannya yang cerdas dalam
naskah. Tidak selamanya humor kasar dan rasis terdengar menjijikkan,
karena komedi adalah masalah timing, dan jika penempatannya pas
maka humor serasis apapun bisa terdengar cerdas, karena mau tidak mau
rasanya kita harus mengakui jenis humor dan lelucon yang paling sering
membuat kita tertawa adalah lelucon berbau rasis atau yang memasukkan
unsur stereotype suatu golongan. Saya yakin banyak yang menjadikan lelucon mengenai orang kulit hitam sebagai guilty pleasure. Pastinya juga banyak yang doyan mentertawakan stereotype Korut sebagai negeri yang tidak memiliki kebebasan dan masih banyak lagi humor seperti itu yang beredar diantara kita. Dalam The Dictator berbagai golongan tidak lepas dari sindiran mulai dari kulit hitam, orang Amerika, Yahudi dan masih banyak lagi. Beberapa cameo seperti dari Megan Fox dan Edward Norton juga menarik dan lucu.
Tentu saja saya tidak mengharapkan sebuah kisah yang cerdas, tapi cerita yang disajikan dalam The Dictator terlalu bodoh di beberapa bagian. Jika kita melihat Borat ataupun Bruno
cerita yang ada didalamnya adalah humor itu sendiri dan kedua aspek
tersebut menyatu dengan baik, sehingga meski penuh kebodohan, ceritanya
tidak pernah sekalipun terasa bodoh bahkan terbilang cerdas. Sedangkan
dalam The Dictator saya tidak merasakan humor dan ceritanya
sebagai satu kesatuan yang sempurna. Disatu sisi saya merasakan humornya
yang bodoh dan kasar mulai terasa menarik di pertengahan. Tapi saat itu
juga ceritanya terasa janggal. Kemudian akibat cerita dan humornya yang
menyatu, kebodohan yang terjadi pada ceritanya makin sulit ditolerir.
Beberapa perbuatan yang dilakukan karakternya terkadang terasa terlalu
bodoh. Saya tidak terlalu mempermasalahkan kebodohan dalam humornya tapi
lebih kepada beberapa tindakan tokohnya yang mempengaruhi jalan cerita.
Selain itu karakter Aladeen juga mengalami perubahan karakterisasi yang
agak mengganggu saat di pertengahan ia mulai menjadi baik dengan begitu
cepat. Hal itu membuat ceritanya di beberapa bagian sempat terasa
layaknya film komedi yang lain walaupun pada akhirnya humor dan cerita
ala Baron Cohen dan penampilan gemilangnya sebagai Aladeen mampu membuat
perbedaan. Sangat disayangkan kebodohan yang ada dalam ceritanya tidak
secerdas kebodohan dalam leluconnya, padahal The Dictator berpotensi besar menjadi komedi ofensif yang cerdas layaknya Borat. Justru beberapa materi promo yang disebar film ini jauh lebih lucu dan cerdas.
0 komentar:
Post a Comment